UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
50 TAHUN 2009 2009
TENTANG
PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b
perlu membentuk Undang-Undang
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
Mengingat
: 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 4958);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN
AGAMA.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611), diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
2.
Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan
peradilan agama.
3.
Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada pengadilan tinggi
agama.
4.
Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama.
5.
Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita
pengganti pada pengadilan
agama.
6. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat
sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur
dalam undang-undang.
2. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga Pasal 3A
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Peradilan Syari’ah
Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan
agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum.
(3) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, yang membutuhkan
keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
(4) Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan,dan
pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Di antara
Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 6 (enam) pasal, yakni Pasal 12A, Pasal 12B,
Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal 12E, dan Pasal 12F yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12A
(1)
Pengawasan internal atas tingkah laku
hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Selain
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku
hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Pasal 12B
(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela,
jujur, adil, profesional, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di
bidang hukum.
(2)
Hakim wajib menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 12C
(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung.
(2) Dalam
hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial,
pemeriksaan dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasal 12D
(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12A ayat (2), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Komisi Yudisial berwenang:
a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat
dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim;
b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim;
c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah
Agung dan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf d;
f. meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau
pengadilan;
g. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan
dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan
pemeriksaan; dan/atau
h. menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b.
Pasal 12E
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12A, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a. menaati norma dan peraturan perundangundangan;
b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan
internal hakim diatur dalam undang-undang.
Pasal 12F
Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
e. sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
f. lulus pendidikan hakim;
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling
tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan
agama, hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim
pengadilan agama.
5. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 13A dan Pasal 13B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
(1) Pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan melalui proses
seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
(2) Proses
seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.
Pasal 13B
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1), kecuali huruf e dan huruf f.
(2) Larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c tetap berlaku kecuali undangundang menentukan
lain.
(3)
Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah sehingga
Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi
agama, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf j;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai
ketua, wakil ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan
agama;
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan
e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara
akibat melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Untuk dapat diangkat
menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 5 (lima)
tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim
pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk
dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling
singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 2 (dua)
tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan
agama.
7. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah dan di
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat
(1b) sehingga Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1)
Hakim pengadilan diangkat oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Hakim
pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau
Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.
(1b) Usul pemberhentian
hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1a)
hanya dapat dilakukan apabila hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
(2)
Ketua dan wakil ketua pengadilan
diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
8. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1)
Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena:
a. atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani atau rohani secara terusmenerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil
ketua, dan hakim pengadilan agama, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal
dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden.
9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan
tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya
terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
dan/atau
f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.
(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan
usul pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
Dalam
hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai hakim.
11. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e, dan huruf f dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga Pasal 24
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1)
Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak
memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak lainnya.
(3)
Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. tunjangan jabatan; dan
b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)
Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. rumah jabatan milik negara;
b. jaminan kesehatan; dan
c. sarana transportasi milik negara.
(5)
Hakim pengadilan diberi jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan
hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
13. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi
panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
warga negara Indonesia;
b.
beragama Islam;
c.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e.
berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam, atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil
panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau menjabat
wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan
g.
mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi
wakil panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a.
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf g;
b.
dihapus.
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera
muda pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan
tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera pengadilan agama, atau
menjabat sebagai panitera pengadilan agama.
15. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Panitera
tidak boleh merangkap menjadi:
a.
wali;
b.
pengampu;
c.
advokat; dan/atau
d.
pejabat peradilan yang lain.
16. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 38A dan Pasal 38B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
Panitera,
wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan
dengan hormat dengan alasan:
a.
meninggal dunia;
b.
atas permintaan sendiri secara tertulis;
c.
sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi
panitera,wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan
agama;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi agama; dan/atau
f.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 38B
Panitera,
wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan
tidak dengan hormat dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus selama
3 (tiga) bulan;
d.
melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35; dan/atau
f.
melanggar kode etik panitera.
17. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga Pasal 39
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1)
Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah pendidikan menengah;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai juru sita
pengganti; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kewajiban.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita
pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b.
berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan
agama.
18. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
Untuk
dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
warga negara Indonesia;
b.
beragama Islam;
c.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e. berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum
Islam, sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, atau sarjana administrasi;
f.
berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan;
dan
g.
mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi
sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan
b.
berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun dibidang administrasi peradilan.
21. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga Pasal 53
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
(1)
Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim.
(2) Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya.
(3) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan tinggi agama di daerah hukumnya melakukan
pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan agama dan menjaga
agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(4) Dalam
melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan
dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.
(5) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
22. Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 3
(tiga) pasal, yakni Pasal 60A, Pasal 60B dan Pasal 60C yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60A
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung
jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.
Pasal 60B
(1)
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2)
Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat
domisili yang bersangkutan.
Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk
pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada
semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
23.
Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses
persidangan.
(2) Pengadilan
wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.
(3)
Apabila pengadilan tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
24.
Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 91A dan
91B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 91A
(1)
Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan agama dapat menarik biaya perkara.
(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.
(3) Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.
(4) Biaya kepaniteraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan pajak,
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Biaya
proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada
pihak atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas penarikan
biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 91B
(1) Setiap
pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91A ayat (3).
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi pemberhentian tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38B.
Pasal II
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 159
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG
PERADILAN AGAMA
I.
UMUM
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) menegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perubahan Undang-Undang ini
antara lain dilatarbelakangi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah
menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
selain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial itu sendiri
yang terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat.
Bahwa Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu undang-undang yang
mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, perlu pula dilakukan
perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai
peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun
non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal
dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan
dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas
dan akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara
lain sebagai berikut:
1. penguatan
pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun
pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim;
2. memperketat persyaratan
pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan agama maupun hakim pada
pengadilan tinggi agama, antara lain melalui proses seleksi hakim yang
dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui
proses atau lulus pendidikan hakim;
3.
pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc;
4.
pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5.
keamanan dan kesejahteraan hakim;
6.
transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7.
transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung
jawaban biaya perkara;
8.
bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim
untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada
dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem
peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka
1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3A
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan “diadakan pengkhususan pengadilan”
adalah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan peradilan agama dimana
dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah, sedangkan
yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-undang" adalah
susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Tujuan
diangkatnya “hakim ad hoc” adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan
keahlian
khusus misalnya kejahatan perbankan syari’ah dan yang dimaksud dalam “jangka
waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12A
Ayat
(1)
Pengawasan internal atas
tingkah laku hakim masih diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif
sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim betul-betul
dapat terjaga.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 12B
Cukup jelas.
Pasal 12C
Ayat
(1)
Koordinasi dengan Mahkamah
Agung dalam ketentuan ini meliputi pula koordinasi dengan badan peradilan di
bawah Mahkamah Agung.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 12D
Cukup jelas.
Pasal 12E
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim memuat kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh hakim dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Pasal 12F
Yang
dimaksud dengan ”mutasi hakim” dalam ketentuan ini meliputi promosi dan demosi
hakim.
Angka 4
Pasal 13
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Cukup jelas.
Huruf
d
Cukup jelas.
Huruf
e
Cukup jelas.
Huruf
f
Pendidikan
hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan perguruan tinggi negeri
agama
atau
swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu yang ditentukan dan melalui
proses seleksi yang
ketat.
Huruf
g
Cukup jelas.
Huruf
h
Cukup jelas.
Huruf
i
Cukup jelas.
Huruf
j
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13A
Cukup jelas.
Pasal 13B
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 19
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Ayat
(6)
Cukup jelas.
Ayat
(7)
Yang dimaksud “dengan
peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Angka 10
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 21
Ayat
(1)
Pemberhentian sementara dalam
ketentuan ini, selain yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah hukuman jabatan yang dikenakan kepada
seorang hakim untuk tidak memeriksa dan mengadili perkara dalam jangka waktu
tertentu.
Ayat
(1a)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Yang dimaksud dengan “sarana
transportasi” adalah kendaraan bermotor roda empat beserta pengemudinya atau
sarana lain yang memungkinkan seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya.
Ayat
(5)
Yang dimaksud dengan “jaminan
keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim diberikan penjagaan keamanan
dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan keamanan
oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim mampu memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi
dari pihak manapun.
Ayat
(6)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Cukup jelas.
Huruf
d
Yang dimaksud dengan “pejabat
peradilan yang lain” adalah sekretaris, wakil sekretaris, wakil panitera, panitera
muda, panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, dan pejabat
struktural lainnya.
Angka 16
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal
38B
Cukup
jelas.
Angka 17
Pasal 39
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Cukup jelas.
Huruf
c
Cukup jelas.
Huruf
d
Cukup jelas.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan “pendidikan menengah” adalah sekolah menengah atas (SMA), madrasah
aliyah
(MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau
bentuk lain
yang
sederajat.
Huruf
f
Cukup jelas.
Huruf
g
Cukup jelas.
Ayat
2
Cukup jelas.
Angka
18
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 60A
Cukup jelas.
Pasal 60B
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “kelurahan” dalam ketentuan ini termasuk desa, banjar, nagari,
dan gampong.
Pasal 60C
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Bantuan
hukum yang diberikan secara cuma-Cuma termasuk biaya eksekusi.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 64A
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Dalam hal salinan putusan
tidak disampaikan, ketua pengadilan yang bersangkutan dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis dari Ketua Mahkamah Agung.
Yang dimaksud dengan
“peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
Angka 24
Pasal 91A
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Biaya
Kepaniteraan yang masuk penerimaan Negara bukan pajak adalah sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Ayat
(6)
Cukup jelas.
Pasal
91B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5078
Salinan
sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT
NEGARA RI
Kepala
Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang
Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu
Setiawan
sesuai dengan
aslinya
0 komentar:
Posting Komentar